Makan Siang Buatan Ibu, Momen Kontemplasi Saya Memikirkan Peran Orang Tua Terhadap Anaknya

2:02 PM

It feels like you are living in the right place when you've got a good family, meals, clothes, and comfort zone. You don't need anything yet, because what you have at this time is happiness.

I do.
Akhir-akhir ini saya merasa sangat bersyukur memiliki ibu yang baik. Padahal saya sudah tahu ibu saya memang begitu sejak dulu, namun memang baru akhir-akhir ini saya menyadarinya, khususnya pada saat makan siang.

Makan siang adalah saat di mana saya makan makanan yang dibuatkan ibu saya. Nggak selalu sih. Soalnya kalau ibu saya lagi nggak enak badan atau saya ada rejeki berlebih ya makan makanan di kantin saja.

Fenomena makan siang terjadi 5 kali dalam seminggu. Mulai dari membuka bekal makanan, menghabisi nasi dan lauknya, hingga minum air putih. Ajaibnya, saat makan, saya kerap mengumpat sambil bersyukur, ataupun sebaliknya.

Saat makan siang ada perasaan campur aduk di situ.
Betapa durhakanya saya yang masih dibuatkan bekal pada umur sebesar setua ini.
Betapa malasnya saya karena untuk makanan yang saya makan saja harus ibu yang membuatkan.
Betapa hebatnya ibu saya yang selalu khawatir dengan sakit perut yang kerap saya alami akibat makan sembarangan.
Betapa baiknya ibu saya yang repot-repot membuatkan bekal.

Saya sadar bahwa ibu yang dimiliki tiap orang tentu berbeda dalam mencurahkan kasih sayang, dan ibu saya paling pandai mencurahkan kasih sayang lewat makanan.

Tanpa diminta ada saja kudapan yang akan dihidangkan ke anggota keluarga lain di saat yang tepat.
Saya belajar, menjadi seorang ibu itu diperlukan inisiatif.
Inisiatif dalam melihat keadaan, melakukan hal yang tepat dengan melihat gejala-gejalanya.

Contoh sederhana, kudapan singkong rebus panas yang dihidangkan kala hujan mereda.
Bagi beberapa orang, mungkin singkong adalah makanan orang kampung yang katanya "di pasar aja dibuang-buang". Tapi entah mengapa, singkong itu tetap nikmat di mulut saya.

Ibu saya juga pandai marah-marah.
Biasanya saya ikutan marah-marah apabila saya tidak merasa salah. Saya tahu itu salah, tapi saya juga tahu setiap anak pasti pernah melakukan itu saat adu argumen. Setelah itu usai, barulah kita sadar sudah berbuat salah.

Tentang betapa kasarnya saya sebagai anak.
Tentang betapa sok tahunya saya.
Tentang betapa sayangnya orang tua saya karena masih mengingatkan.
Tentang betapa pedulinya mereka terhadap kehidupan saya.

Karena mereka sadar, ada tanggung jawab sebagai orang tua sebagai pendidik yang paling inti.
Lamanya tugas sebagai pendidik ini pun berlaku sepanjang hidup mereka.

Saya sadar, untuk menjadi orang tua diperlukan sebuah prinsip.
Prinsip yang terkadang memang harus disampaikan dengan cara marah-marah karena gregetan dengan anaknya sendiri. Prinsip-prinsip yang diyakini sebagai nilai kebenaran dan diturunkan kepada anak-anak mereka sebagai falsafah keluarga.

Prinsip-prinsip itu umumnya berisi perintah dan larangan. Misalnya, larangan seperti: jangan mengambil barang yang bukan milikmu, jangan meminta, jangan lupakan Tuhan, jangan malas, dan perintah seperti: saling memberi, berdoa apabila kita merasa teraniaya/kesusahan, berusaha mengejar keinginan dengan jerih payah sendiri, bersedekah bila punya rejeki, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Tugas orang tua menjadi makin berat apabila anaknya pembangkang. Dari situ saya sadar bahwa menjadi orang tua itu harus kuat mental, batin, dan fisik.
Tiga hal tersebut di atas bukanlah prasyarat untuk masuk sekolah militer, tapi skill dasar untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan di masa depan.

Saya berkaca ke diri sendiri, apa saya bisa seperti ibu bapak saya?
Hati saya berkata, ya pasti bisa lah! Hanya belum dicoba saja.

P.S.: Ditulis usai makan bekal buatan ibu.


You Might Also Like

0 comments