Si Choosy, Terbentuk Alami Sedari Kecil

9:31 AM



Flashback ke 18 tahun lalu, di kelas 5 SD, ternyata gue sudah membangun motto hidup yang konsisten gue bawa sampe sekarang. Pas dulu baru bisa bahasa Inggris dikit (sekarang juga nggak jago-jago amat sih), gue ngerasa gue itu perlu jadi choosy tapi nggak mau juga jadi keliatan orang yang cheesy. Sampe akhirnya, kepikiran untuk bikin singkatan ala-ala dengan kependekkan CHOOSC yang berarti clear, hope, open, optimist, smile, and, creative yang kalo dibaca singkatannya ya jadi choosy tadi. Kala itu, gue ngerasa singkatan ini keren banget. Sampe beberapa hari gue hafalin pake jari kata per kata untuk mengurai singkatan CHOOSC itu kepanjangan dari apa aja (paham kan hafalin kayak ngitung pake jari sambil nunjuk jari? Misalnya, jempol untuk C yang artinya Clear, telunjuk untuk H yang artinya Hope, jari tengah untuk O yang artinya Open, dan seterusnya).

                                




Dulu gue ngerasa kalo gue emang ngerasa perlu merangkum beberapa kata sifat yang cukup menggambarkan diri gue sekaligus karakter yang mau gue bentuk di kemudian hari. Gue inget banget, saking ingin internalisasi karakter-karakter ini ke diri gue, akronim CHOOSC ini sempet gue jahit di taplak meja as signature untuk mata pelajaran Kertakes alias Kerajinan Tangan dan Kesenian. Kalau dipikir-pikir sekarang, gue yang dulu kala bisa dibilang cukup visioner dan udah tahu gimana ngebentuk fondasi di diri gue untuk bekal di masa depan tanpa disadari. So, I thank to myself when I was 11 years old. These 6 magic words shaped me. Sedikit banyak 6 kata ini yang jadi pegangan pribadi gue dalam melihat keadaan yang gue udah alami selama 18 tahun setelahnya (sudah tua ya? Memang, tapi I see my age as a number that actualize my existence on this Earth). Enam kata ini juga yang bikin gue bisa recall lagi kalau lagi ngerasa low dan butuh semangat lagi.

Mungkin sebagian dari kalian ngerasa kalau motto hidup itu nggak perlu atau bahkan udah nggak relevan, atau ada juga yang mengambil motto atau falsafah hidup orang kenamaan untuk dipegang jadi acuan pribadi karena relate banget sama diri kalian. Well, entah mengapa, gue yang masih hijau kala itu udah berpikir untuk punya motto diri yang otentik ingin dibangun.

Trus, hari ini kepikiran soal gue yang masih kecil cenderung lebih matang untuk mengetahui apa yang dimau sama diri gue sendiri. Kalau dipikir-pikir, buat apa gue harus punya motto hidup di umur 11 tahun? Buat apa juga nilai-nilai ini perlu gue bawa sampe sekarang? Kalau kita hidup dalam suatu pranata udah pasti dong perlu punya nilai-nilai yang akan diimplementasi semacam nilai sosial, susila, kesopanan, dll dandengan mempraktikkannya sebagai penyerta bahwa lo adalah bagian dari pranata itu. Kalau dibaratin kayak gitu, 6 kata ini adalah nilai dalam pranata yang anggotanya gue sendiri. Tujuannya, sebagai mantra yang menjaga gue tetap waras.

Gue suka banget perhatiin pola perilaku dari orang-orang yang ada di sekitar gue. Tapi, gue kadang malah abai sama pola yang ada di diri gue sendiri. Pas lagi kontemplasi soal 2020, kok gini amat ya, mikir bengongnya tuh sambil liatin profil Instagram gue. Orang-orang pada berubah, circle gue pun berubah. Orang yang sebelumnya adalah sahabat gue trus sekarang jadi strangers-pun banyak, tapi ada satu hal yang berubah dari diri gue: Nia yang sekarang udah heartless, udah nggak terlalu ambil perasaan atau sedih berlarut-larut dengan kenyataan ditinggal orang-orang terdekat. Kehilangan adalah suatu keniscayaan. Kondisi kehilangan orang-orang yang dulunya deket banget karena intensitas komunikasi kita yang berkurang adalah salah satu kemungkinan yang perlu dihadapi semakin kita bertambah umur. Oke sebelum makin ngelantur, kita balik lagi yuk soal perhatian gue mengenai pola perilaku yang suka gue perhatiin. Kali ini, fokusnya ke bio Instagram gue. Di situ tertulis:"𝒄𝒍𝒆𝒂𝒓, 𝒉𝒐𝒑𝒆, 𝒐𝒑𝒆𝒏, 𝒐𝒑𝒕𝒊𝒎𝒊𝒔𝒕, 𝒔𝒎𝒊𝒍𝒆, & 𝒄𝒓𝒆𝒂𝒕𝒊𝒗𝒆". Dari situlah, gue jadi flashback beberapa belas tahun lalu dan akhirnya kerangkai deh kata-kata buat nulis blog ini lagi.

Filosofi untuk berpikiran bersih, penuh harap, tetap terbuka, hidup dalam keoptimisan, melengkapinya dengan senyuman, dan berpikir kreatif secara implisit ngebantu banget diri gue untuk get back on track ke nilai-nilai positif yang udah gue buat. Intinya, as positive self-affirmation. Sekarang, dari 6 kata ini, gue bisa ngeliat diri gue dari sisi yang berbeda. So, here we go...

Aku Anaknya Cenderung Visioner

Gue baru sadar kalau gue ada kecenderungan ini. 5-6 tahun terakhir gue memiliki lebih banyak peran sebagai eksekutor. Orang yang kerjaannya ngejalanin tugas, sampai sekarang masih sih, tapi perannya lebih banyak ke strategi, planning, dan kasih arahan. Makin ke sini mungkin kedengerannya sok bijak, tapi gue meyakini apa yang gue share ke circle teman-teman di kantor, khususnya tim gue, based on empirical experiences. Nggak semata-mata karena gue harus bersikap simpati atau empati, tapi segala masukan, saran, atau tips & trick berdasarkan apa yang pernah gue lakukan, rasakan, dan lewati. Kadang gue ngerasa terlalu matang di umur gue yang sekarang, tapi hal ini juga yang bikin gue jadi maju. So, I embrace it anyway. 

I'm appreciating all the thinking process

Butuh 18 tahun buat gue sadar, kalau 6 kata afirmasi ini terbentuk dan terbangun sejak gue SD dan gue konsisten untuk jalaninnya. Bahkan tetep inget itu juga sebuat prestasi personal. Semakin bertambah umur pikiran makin banyak ya, kan? Tapi hal-hal yang sifatnya prinsip atau pegangan nilai yang melekat di diri kita rasanya itu hal yang fundamental ada di diri kita. Bukan berarti gue mendorong buat pembaca blog ini untuk menjadi seperti diri gue, enggaaa. Tapi, tiap orang punya prosesnya masing-masing. Gimana dia memaknai hidup, gimana dia ngeliat suatu hal dan memilah-milah mana nilai yang paling pas buat diri sendiri, mana yang nggak harus diikutin.

Proses mikir sedikit banyak bisa ngebantu kita menyesuaikan penggunaan energi dan skill yang kita punya, trus bisa ngebantu kita untuk fokus ngeliat jalan keluar yang memungkinkan. Tapi balik lagi, proses mikir kita fokus kemana? Kalau fokusnya ke masalah, kita cuma muter-muter di situ doang, blaming someone else or ourselves atau mencari alasan-alasan sebagai justifikasi kalau kita nggak bersalah atas suatu masalah yang terjadi. Beda cerita, kalau fokus kita curahin ke solusi, mungkin kita bisa nemuin pola pemikiran terstruktur untuk mencari jalan keluar dan meminimalisir waktu yang terbuang dari proses mikirin masalahnya doang.

Gue yang di umur 11 tahun, ngeliat bahwa proses mikir sesuatu yang bisa jadi motto hidup yang outputnya adalah 6 kata yang terbentuk itu merupakan potensi yang gue udah punya dan potensi-potensi yang gue bisa kembangin karena pada saat itu gue masih memiliki kekurangan-kekurangan. 

Leadershipless leads me to have a leaderships

Gue dibesarkan dari keluarga yang sederhana dan bisa dibilang bukan siapa-siapa. Bukan petinggi atau orang yang punya harta dan tahta. Gue bersyukur dibesarkan oleh ayah yang keras tapi sayang anak dengan caranya yang unik (dulu sih gue bilangnya ini overprotective banget) serta oleh seorang ibu yang kuat dan suportif banget atas segala langkah yang gue ambil. Kontradiksi pendapat antara ayah dan ibu kerap dimenangkan si bapak tapi dibalik itu, ibu selalu tahu apa yang betul-betul anaknya butuhkan sehingga gue nggak pernah merasa ditinggalkan. Gue dibesarkan bukan untuk menjadi orang besar di masa depan, tapi dididik untuk saling mengerti kondisi satu sama lain baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan sekitar. 

Gue bukan orang kerap mendapatkan ilmu kepemimpinan di bangku sekolah. Kalau kalian familiar atau sempat jadi bagian anggota BEM. Gue nggak sama sekali pernah menjadi bagian itu di sekolah. Antara mereka nggak melihat gue memiliki potensi jadi pemimpin dalam proses rekruitmen atau ya gue udah sibuk nyari uang jajan jadi guru privat door to door atau kerja paruh waktu jadi guru bimbel. Hidup itu pilihan ya 'kan. Kalau gue sibuk organisasi, gue nggak bisa nabung beli hape Cina atau bayar cicilan laptop merk Compaq kala itu (masih inget banget ini gue cicil sama owner di bimbel tempat gue kerja).

Dari kehidupan leadershipless ini, gue malah belajar how to lead myself naturally. I'm being my own leader. At least, gue bisa atur diri gue sendiri tanpa harus ngerepotin orang lain.

Sekarang, mungkin karena udah beberapa kali punya pengalaman kerja yang cukup konsisten dan milestones, I'm being the leader of a small team. Sekarang gue malah kebentuk leadershipness itu dengan sendirinya dan gue bangga dengan progress dari hidup gue sejauh ini.

Tugas gue selanjutnya hanyalah gimana caranya stay sane, have a meaningful and joyfulness in life.


You Might Also Like

0 comments